Sisi Gelap yang Ingin Diakui
Tubuh ini adalah tempat dimana jiwa
bersemayam. Seperti rumah yang ruh kita berada di dalamnya, yang menjadikan
nyaman dan tentram bukanlah sebagus apa bentuk tubuh dan kondisi fisik kita,
tetapi penerimaan diri dan rasa syukur terhadap kehidupan yang dijalani oleh
tubuh, jiwa dan ruh sebagai satu kesatuan yang Bernama “Aku”
Setiap entitas memiliki sisi gelap-terang yang berseberangan. Seperti
bumi yang dilihat dari angkasa, ia tampak seperti bola yang separuhnya terang,
separuhnya hitam. Tapi, Pernahkah kamu coba membayangkan, bagaimana jika
separuh bumi yang gelap itu protes kepada separuh bumi yang terang karena
merasa terdiskriminasi atau kurang diperhatikan?.
Untungnya hal itu tidak terjadi. Karena Tuhan selalu memperlakukan mereka
dengan setara. Dalam Al-Quran, Allah juga sering menerangkan tentang keutamaan
siang dan malam. Ya, sisi gelap dan sisi
terang sama-sama mendapat pengakuan, sama-sama diperkenalkan kepada kita
sebagai satu kesatuan yang utuh, yang saling mengimbangi dan saling butuh.
Sekarang anggap kita adalah bumi itu. Satu keutuhan yang sama-sama
memiliki sisi gelap dan terang. Apakah kita sudah memperlakukan sisi gelap dan
terang yang ada dalam diri kita secara setara? Sesuai dengan tempat dan
kegunaannya?. Semoga jawabannya iya. Karena akan timbul banyak masalah dalam hidup jika kita hanya mau mengakui
kelebihan, kebaikan lalu mengabaikan kekurangan
dan kelemahan yang dimiliki.
Aku punya satu kisah tentang ini. Kisah
tentang sisi gelap dan sisi terang yang harus sama-sama diakui keberadaannya. Masih
tentang perjuanganku melawan autoimun yang ku derita. Eh, ralat.. tepatnya
bukan melawan tapi menerima.
Selesai zoom materi self healing yang disampaikan oleh Mbak Zaki
di Komunitas Permata hati, beliau membagi trik untuk dapat melakukan self
healing secara mandiri. Salah satunya adalah dengan menerapkan rumus ATL.
Sebuah singkatan yang memiliki kepanjangan “Akui, Terima, Lepaskan”. 3 kata
yang mudah diucapkan tapi begitu syulit untuk dilakukan, (kalau tidak
tahu caranya, hehehe). Bertahun-tahun lalu, saat autoimunku menyerang hampir
separuh badan, aku belum mengetahui rumus ini. Aku belajar menyembuhkan diriku
sendiri dengan berbagai cara yang aku bisa. Sampai ahirnya aku sampai di satu
titik dimana diriku tahu, meskipun aku masih terluka, tapi aku sudah tidak
apa-apa.
Sebenarnya, rasa pedih dan gatal yang menyerang ketika psoriasisku tak
terkendali masih tak seberapa jika dibandingkan dengan pandangan miring orang
yang melihat penyakitku ini. Tatapan mata yang penuh rasa iba dan kasihan. Ada
juga yang memandang dengan risih dan jijik seolah-olah dengan melihat saja,
penyakit ini bisa menulari dirinya. Akibatnya, aku sering menutup diri, jarang
keluar rumah dan jarang bersosialisasi. Kalaupun harus keluar rumah, aku akan
memakai pakaian panjang dan berhijab. Saat itu, masih belum banyak orang yang
keluar rumah dengan memakai hijabnya. Jadi, aku terlihat seperti ukhti-ukhti
yang susah didekati. Demi apa? Demi untuk menutupi kekurangan alias sisi gelap
yang aku punya.
Bagaimana aku mau mengakui sakit ini? Bukankah sakit ini adalah sesuatu yang memalukan dan harus ku sembunyikan dari halayak. Supaya ketika mereka melihat kulitku yang kadang tak sengaja terbuka, mereka tidak banyak bertanya. Karna aku benci dan bosan harus menjawab pertanyaan yang sama berulang kali. Tetapi semakin lama aku menutup diri, aku semakin merasa kesepian dan sendirian. Tidakkah ada orang yang bisa menerima diriku apa adanya saja?. Tetapi ku pikir aneh juga, aku menuntut orang lain menerima diriku, tetapi aku sendiri tidak menerima keadaanku seperti seharusnya.
Ahirnya aku tiba di suatu momen dimana aku merasa jenuh dengan kondisiku
yang semakin terpuruk, semakin terluka dan insecure. Aku berjalan menuju
cermin, lalu melepas jilbabku. Dalam cermin itu aku melihat bekas luka
psoriasis yang sudah sembuh dan meninggalkan belang hitam. Ada juga luka-luka
baru yang memerah, bersisik dan kulitnya hendak terkelupas seperti biasanya.
Aku mengganti bajuku yang selalu panjang dengan kaos pendek. Sehingga
bekas-bekas luka dan kulit memerah yang memenuhi lengan dan siku semakin tampak
nyata. Ku kuncir rambut panjangku sehingga ruam di leher pun terlihat.
Proses mengakui dan menerima kondisi ini memang berat. Aku merasa saat
itu aku telah menjatuhkan harga diriku dan menurunkan marwahku sebagai seorang
wanita, karena harus keluar dengan pakaian terbuka. Tapi fase ini perlu aku
lalui untuk mengetahui sampai dimana aku akan menerima kondisiku, seandainya
orang-orang yang melihatku akan menghina dan mencemoohku.
Umumnya, kekurangan itu harus
disembunyikan, dan bukan ditunjukkan. Egoku sebagai manusia menuntut untuk
tampil dengan sempurna, dan bukan sebaliknya. Tapi sakit ini mengajarkanku
supaya aku bisa menerima diriku secara utuh, beserta kekurangan dan
kelebihannya. Ya, jika aku tidak berhasil menyelesaikan satu permasalahan
dengan cara yang biasa dilakukan, maka aku akan mencoba lakukan kebalikannya. Karna selama ini aku
telah lelah sembunyi, ahirnya aku putuskan untuk tampil apa adanya.
Pada awalnya, orang-orang merasa heran melihatku, “eh, kok tumben
kerudungnya di lepas?”, ”Eh kok pakai kaos pendek?”, “ La, itu kulitnya
kenapa?”. Dengan berbesar hati, aku menjawab pertanyaan yang sama berulang
kali. Ternyata, rasanya tak semenakutkan yang dibayangkan. Mungkin awalnya
mereka melihat dengan iba, kasihan dan merasa risih. Tapi dibalik itu aku
menangkap kepedulian yang mereka pancarkan. Selama ini akulah yang salah
menilai diri dan salah menilai pandangan mereka.
Ketakutanku berlebihan, kesedihanku
tak beralasan. Karena aku tetap menjadi aku meski memiliki autoimun dan banyak
kekurangan lainnya. Sakit ini sama sekali tidak mempengaruhi nilai diri, dan
tidak merubah siapa aku sebenarnya. Ketika kekuranganku diketahui oleh
oranglain juga tidak apa-apa. Karena ternyata mereka juga sama-sama punya
kekurangan. Hanya apakah ingin diterima dan diakui, atau disembunyikan dan membenci diri sendiri
adalah dua pilihan yang harus kita putuskan secara sadar.
Ya, tubuh ini adalah tempat dimana jiwa bersemayam. Seperti rumah yang
ruh kita berada di dalamnya, yang menjadikan nyaman dan tentram bukanlah
sebagus apa bentuk tubuh dan kondisi fisik kita, tetapi penerimaan diri dan
rasa syukur terhadap kehidupan yang dijalani oleh tubuh, jiwa dan ruh sebagai
satu kesatuan yang Bernama “Aku”. Maka mengakui dan menerima si “Aku” menjadi
langkah awal segala penyembuhan. Baru setelahnya, ketakutan dan kesedihan yang
telah berjarak dapat kita lepaskan kembali ke semesta.
Komentar
Posting Komentar