Menemukan Diri yang Sejati
Menemukan Diri yang Sejati.
Banyak motivator diluar sana
yang mensugesti supaya kita menjadi diri yang sejati. Sebenarnya, bukannya
tidak setuju atau tidak mau, tapi kadang kita sendiri bingung jati diri yang
sejati itu kek mana?
Pertanyaan tentang esensi diri sejati mirip-mirip juga dengan esensi cinta, dan esensi Tuhan. Ada tapi tak terlihat wujud nyatanya. Dee Lestari dalam kumpulan cerita pendek di buku Madre, menyiratkan keingintahuan seseorang tentang Tuhan, tentang cinta seperti halnya orang yang mencoba mengupas bawang.
Terlalu banyak lapisan, lagi dan lagi, sampai mata kita perih karena ingin
mencari inti.
Saat aku mencoba berdiskusi
dengan GPT, aku mengetik di kolom percakapan “Menurutmu, apa itu jati diri yang
sebenarnya?”
Setelah loading sebentar, aplikasi serba tahu macam cermin ajaibnya
ratu jahat di film Snow white itupun mendeskripsikan bahwa “jati diri yang
sebenarnya adalah inti keberadaan kita, bukan sekedar nama, jabatan, status
sosial, atau peran yang kita mainkan dalam hidup. Ia adalah kesadaran akan kita
dibalik semua label, luka dan tuntutan dunia”. Masyaallah... pinter sekali
jawabnya.
Dibalik hiruk pikuknya dunia,
dibalik peran yang harus dimainkan dan topeng yang dikenakan manusia, diri
sejati seperti harta karun yang dicari semua orang. Tetapi tidak semua orang
bisa menemukannya. Padahal diri sejati tidak sedang sembunyi dimanapun. Ia
hanya sedang bersemayam dalam diri sendiri dan sedang menunggu untuk ditemukan.
Anehnya, banyak manusia yang mencarinya keluar diri. Melalui pengakuan, cinta,
pencapaian, dan sebagainya. Padahal jati diri tidak pernah pergi, ia hanya
menunggu untuk dikenali.
Lalu bagaimana cara
menemukannya?
Kita tidak perlu mencari
sesuatu yang tidak pernah hilang. Kita hanya terlalu sibuk mengejar suara yang
ada diluar kita, sampai lupa mendengar bisikan hati sendiri. Mari sejenak
meluangkan waktu untuk bisa mengenali diri sejati. Bisa dengan menulis jurnal,
meditasi, atau dengan hadir dalam kekinian. Present atau hadir dalam kekinian,
disebut present karena ia juga merupakan persembahan yang harus kita nikmati di
detik ini. Karena hanya dengan hadir disaat ini kita bisa menikmati moment yang
menyenangkan bersama diri yang sejati. Di saat hadir seperti inilah suara jati
diri akan hadir seperti gema dari dalam gua.
Selain terlalu sibuk pada
aktivitas dunia, bisa jadi, kita merasa kehilangan jati diri karena terlalu
lama menanggung beban, terlalu dalam menyimpan luka, dan terlalu pedih oleh
trauma. Perasaan merasa tidak pantas dan tidak berharga yang datang dari luka
menggerogoti rasa percaya diri dan membuat nilai diri menurun. Jika kamu sering
merasa seperti itu, maka inilah saatnya untuk berani menyelami luka dan
menyembuhkan batinmu sendiri. Dengan begitu kamu akan tahu keutuhan dirimu.
Meskipun ingin menyerah, selalu ada bagian dari dirimu yang mencoba kuat dan
bertahan. Jati diri sering bersembunyi di balik pintu yang paling enggan kita
buka. Pintu itu bernama luka lama dan trauma.
Berikutnya, yang bisa kamu
lakukan untuk menemukan jati diri adalah dengan olah spiritual atau perjalanan
eksistensial. Bagi orang yang sudah tercukupi semua kebutuhan dan keinginan
hidupnya, tapi masih terasa kosong di dalam, jati diri sering ditemukan disini.
Lewat agama, lewat pertanyaan eksistensial tentang tujuan hidup, atau lewat
hubungan mendalam dengan alam, dengan sesama manusia dan dengan semesta.
Menemukan jati diri bukanlah
perjalanan keluar. Tetapi persis seperti proses kita mengupas bawang. Kita
harus menyingkap lapisan demi lapisan yang menutupi jiwa meskipun mata dan
hidung kita bisa pedih dibuatnya. Sampai akhirnya kamu akan menemukan, di balik
semua lapisan-lapisan itu hanya ada kekosongan. Kekosongan yang menjadi inti
dirimu. Ya, inilah dirimu yang mungkin rapuh, tetapi nyata. Kamu yang tidak
sempurna, tetapi utuh dengan segala kelemahan dan kekurangannya.
So, Selamat berjuang mengupas
bawang, selamat bertemu kembali dengan dirimu yang sejati. 😊
Komentar
Posting Komentar