Bolehkah Emak-Emak Bermimpi?
Setiap
manusia pasti memiliki mimpi. Tidak terkecuali manusia yang memiliki julukan
‘Ras terkuat di bumi’, yaitu Emak-emak. Wanita dewasa yang sudah mengabdikan
diri demi suami dan anak-anaknya, itulah mereka.
Emak-emak
banyak juga jenisnya, ada yang bekerja fullday, ada yang bekerja paruh waktu
sambil momong bocah, ada yang punya usaha online meski kelihatannya tidak
bekerja, ada juga yang harus bekerja sendirian tanpa pasangan alias single
parent.
Dalam
rumah tangga, emak-emak adalah kutub yang menjadi sumbu tentramnya sebuah keluarga.
Tak jarang, demi membuat dunianya tetap berputar sebagaimana mestinya,
Emak-emak harus siap menjadi multitalent women yang siap merangkap tugas
sebagai tulang rusuk sekaligus tulang punggung. Semua kesibukan itu, tanpa ia
sadari membuat ia lupa tentang apa yang pernah dicita-citakannya.
Kebahagiaan
pribadinya melebur setelah ia menikah dan melahirkan. Istilah persalinan yang
digunakan untuk wanita yang pernah hamil dan melahirkan, ternyata bukan tentang
fisiknya saja, tetapi juga tentang batin dan jiwanya. Sebagai anak gadis yang
pernah diratukan oleh keluarganya, yang pernah begitu sibuk untuk meraih apa
yang diinginkannya, kini harus merelakan dirinya menjadi “rumah” untuk suami
dan anak-anaknya. Menjadi rumah artinya menjadi tempat yang nyaman untuk
pulang, sampai lupa mencari kenyamanan untuk diri sendiri.
Ketika
ambisi dan pencapaian pribadi masih menagih untuk segera digenapi, sedangkan
waktu dan tenaga emak-emak sudah diforsir habis-habisan untuk mendukung
suksesnya suami dan anak-anak, disinilah dilema mulai terjadi. Kekosongan dan
kesepian hadir seperti hantu yang datang dari masa lalu, menggedor-nggedor
jiwanya yang lelah. Disinilah setan mulai beraksi. Emak-emak mulai tidak ikhlas
lagi menjalani perannya.
Pertanyaan
demi pertanyaan muncul, mengerubungi kepalanya. “layakkah aku hidup hanya
seperti ini?, aku juga ingin seperti mereka yang punya kebebasan untuk
mewujudkan apa yang di inginkan tanpa harus direcoki dengan tangisan anak atau
ijin dari suami yang kadang susah ditembus seperti tembak China.”
Lalu
setan datang lagi mengompor-ngompori, “ Hei, Mak.. kalau saja kamu punya
lebih banyak waktu untuk fokus pada dirimu sendiri, kamu pasti bisa mendapatkan
apa yang kamu inginkan dengan jumlah lebih banyak. Kamu masih ingat,
cita-citamu menjadi konten kreator, kan.. atau keahlianmu berbicara di depan
banyak orang, atau kehlianmu mengajar, menulis, menyanyi, melukis, berias? Kamu
bisa dapat uang yang banyak, sehingga kamu tak perlu menggantungkan hidup pada
uang pemberian dari suami, kamu tak perlu sungkan untuk membeli makanan enak
dan mainan mahal untuk anak-anakmu. Dan, emas mak… belilah emas yang banyak
karna kata Selebgram dan Tiktokers itu, emas adalah investasi yang sangat
menggiurkan. Belilah mobil, supaya kamu tak perlu kepanasan kalau pergi jauh,
belilah tanah mak.. jangan lupa umroh ke Tanah suci, supaya selain bisa
beribadah kamu juga bisa selfi-selfi. Ah, betapa menyenangkan jika semua itu
bisa kamu capai, kamu akan dihormati dan diakui sebagai wanita hebat, sebagai independent
women,”
Lihatlah
Emak-emak mulai oleng dibuatnya. Bisikan Setan memang terasa begitu indah dan
menggoda.
Di
tengah kegalauannya, Emak-emak mulai bermalas-malasan mengerjakan pekerjaan
rumah. Suami dan anak-anak tidak diurusi. Emak-emak sibuk sendiri, mencari
pengakuan di luar sana dengan membranding diri di media sosial. Sibuk
terlihat baik, sibuk terlihat cantik, sibuk terlihat berkilauan di depan orang
yang bahkan tak tahu apa-apa tentang hidupnya.
Tapi
ternyata untuk menjadi sukses seperti yang dideskripsikan oleh Setan, jalannya
tak semulus jalan tol Surabaya-Jakarta. Hatinya semakin kosong, pikirannya
kalut, rasanya tak sampai dimana-mana. Apa yang salah ya?, bukankah
cita-citanya untuk membahagiakan keluarga dengan pencapaiannya itu baiknya luar
biasa?
Meskipun
sedikit egois dan tidak sabaran, untungnya emak-emak ini punya kelebihan, yaitu
masih mau belajar. Untungnya, emak-emak ini punya komunitas positif bernama Komunitas
Permata Hati. Dan disinilah jalan bagi Tuhan untuk mendidiknya dengan lembut
dan penuh kasih sayang.
Pada
sebuah momen refleksi, ia mengutarakan kegelisahannya kepada Sang Mentor, yang
juga emak-emak dan disaksikan pula oleh para emak-emak sebagai membernya. Ia
memikirkan waktu yang lama untuk merangkai kata-kata. Agar curahan hatinya yang
sebesar gunung salju bisa mencair dalam semangkuk es yang menyegarkan.
“Bolehkah Emak-emak bermimpi dan bercita-cita, tanpa harus mengorbankan
perannya sebagai Ibu dan istri? Tanpa harus mengabaikan anak-anak dan suami?.
Bisakah mimpi yang dibangun oleh emak-emak ini menjadi sesuatu yang menerangi
Langkah orang banyak, sehingga cahaya ini bisa tetap menyala tanpa harus
membakar orang-orang di sekitarnya?, jikalau bisa, bagaimanakah caranya, duhai Ibu
mentor?
Ibu
mentor mulai menjelaskan, tanpa menghakimi, tanpa membully. “tidakkah
menjadi istri dan ibu juga merupakan cita-cita? Jikalau menjadi Ibu dan istri
bukan termasuk cita-cita, tentunya tidak ada wanita yang mau menikah dan punya
anak kan ya?”
“Cita-cita
yang menjadi cahaya justru bukan yang
berorientasi pribadi. Tetapi apa yang bisa kita berikan ke sekitar kita.
Termasuk anak dan suami.”
“Ketika
kita bisa bersungguh-sungguh dalam menjalankan peran sebagai istri dan ibu,
suatu saat kita akan mampu keluar (berkontribusi lebih luas) dengan kesungguhan
yang sama. Otomatis cita-cita pribadi kita akan ikut terwujud. Karena antara
peran kita dalam keluarga, menjalankan passion kita untuk mewujudkan
cita-cita dan mendapatkan rezeki, itu satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jika
untuk mendapatkan yang satu, harus mengorbankan yang lain, berarti ada yang
perlu dibenahi.”
Oh,
ternyata.. setelah menjadi Emak-emakpun, sebagaimana manusia pada umumnya..
kita haruslah bermimpi. Tapi definisi mimpi disinilah yang perlu diperbaiki.
Mimpi dan cita-cita bukan lagi tujuan untuk memenuhi hasrat pribadi ataupun
semata-mata untuk diakui. Mimpi kita sebagai manusia adalah untuk menjadi wujud
wakil Allah di muka bumi. Maka mimpi yang menyelamatkan adalah mimpi yang
berorientasi kepada pelayanan sebagai hamba Allah. Caranya adalah dengan
menjadikan Allah sebagai ujung dari segala niat kita dalam bermimpi. Itulah
cita-cita yang akan menjadi cahaya, yang dapat menerangi hidup kita dan
orang-orang di sekitar kita.
Jadi,
bolehkah emak-emak bermimpi?.
Boleh, Mak.. bermimpilah, tapi jangan serakah. Bermimpilah,
tapi ingat porsimu, dan sadari peran serta tujuan hidupmu. Mau sebagai
Emak-emak, Bapak-bapak atau apapun jabatan yang saat ini sedang disandang,
dalaman kita aslinya sama. Kita hanyalah hamba. Seragam luar kita saja yang
berbeda, karena peran dan tanggungjawab kita berbeda. Suatu saat nanti kita
akan kembali kepada Ilahi untuk mempertanggungjawabkan peran yang telah Ia
beri. Maka, untuk para Emak-emak, meskipun sepertinya peranmu biasa-biasa saja,
jalanilah peranmu dengan penuh Syukur dan gembira. Tidak ada mahluk selain kalian
yang mampu menjalankan misi penting untuk meneruskan generasi ini. Tetap
semangat dan berbahagialah. Tuhan mencintai Emak-emak yang bersyukur dan
bergembira atas segala karuniaNya. 😊
Komentar
Posting Komentar