Misi Jiwa

 

Ketika semesta memilihku

Setiap orang adalah penjelajah kehidupan yang memiliki misi tertentu. Kita kadang kebingungan dengan apa yang menjadi tujuan kita selama hidup di dunia. Tetapi, Meskipun tanpa peta, tanpa naskah atau skrip, petunjuk tentang siapa kita sebenarnya dan apa yang menjadi tujuan hidup kita sudah tersebar seperti remah-remah roti yang akan memandu jalan kita untuk sampai di tujuan.  

Tidak semua panggilan dan misi jiwa datang dengan suara lantang. Kadang ia datang dengan lembut, mengetuk hati kita lewat kebiasaan kecil yang tanpa sadar menjadi jalan hidup. kadang ia juga datang dengan spontan, serupa momen epiphany yang membuat kita tanpa sadar mengucap ‘Eureka’ atau ‘Aha!’.

Barangkali, salah satu misi dan panggilan jiwaku Adalah menjadi guru ngaji.

Barangkali begitu. Tapi… bagaimana aku tahu?

Yah, karena ku pikir, jika sesuatu itu menjadi sebuah misi dan panggilan jiwa, kita akan dimudahkan dalam melaksanakannya, bahkan tanpa kita minta. Tiba-tiba saja kita punya keahlian yang cukup baik di bidang itu, tiba-tiba saja lingkungan kita cocok dan mendukung untuk menjalaninya. Tiba-tiba saja ada yang menawari pekerjaan atau mengisi sebuah posisi yang bahkan tidak pernah kita harapkan sebelumnya

Sejak remaja, aku diminta Kyaiku untuk ikut mengajar ngaji di musola. Setiap sore menjelang maghrib, aku mengayuh sepeda menuju musola dengan semangat. Aku ajari anak-anak membaca dari selesai solat maghrib sampai masuk waktu isya.

Aku menikmati kegiatan mengajari anak-anak membaca huruf hijaiyah, mendengar suara mereka yang cadel dan terbata-bata. Kadang aku mendengar mereka tertawa lepas dengan ceria, kadang mereka menangis karena tidak bisa-bisa. Ketika perlahan aku menyaksikan progress mereka yang semakin lancar membaca Al-Qur’an, adalah kebahagiaan sederhana yang sulit dijelaskan

 Menjelang ujian SMA, guruku, yang menjadi kepala TPQ di desaku, memintaku mengajar di TPQ yang menggunakan metode Qiroati. Setelah beberapa bulan menjadi guru ngaji di TPQ, aku diwajibkan untuk mengikuti tashih atau ujian baca Al-Qur’an. Di kalangan para pengajar Qiroati, proses  tashih ini dikenal sangat susah. Hanya sedikit guru yang dinyatakan langsung lulus dalam ujian bermodel sorogan itu. Selama berbulan-bulan aku menyiapkan diri.  Alhamdulillah, aku diberi kemudahan selama proses tashih dan dinyatakan lulus dengan hasil yang memuaskan. Bukankah, ini sebuah kemudahan yang sebelumnya sulit untuk ku bayangkan?

Secara materi, mengajar ngaji bukan profesi yang menjanjikan banyak uang untuk dikumpulkan. Tetapi ada sebuah hadist yang mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”. Hadist ini muncul sebagai dorongan dan penghargaan bagi mereka yang berjuang demi Al-Qur’an, meski harus mengorbankan waktu, tenaga dan hartanya.

Tidak semua misi jiwa dapat diukur dengan materi. Namun  seiring dengan misi jiwa yang dilakukan, selalu ada keberkahan yang membuat hidup kita terasa damai dan berkecukupan. Balasannya tidak selalu berupa uang. Kadang rejeki itu datang berupa kesehatan, keluarga yang harmonis, anak-anak yang berbakti, lingkungan yang aman, atau bisa jadi sahabat dan komunitas yang bisa saling melengkapi. Tuhan selalu punya cara untuk memberi yang terbaik untuk kita nikmati, selama kita setia menjalani kebaikan yang Dia titipkan.

Selain melakukan keseharian yang ahirnya membuatku sadar bahwa mengajar Al-Quran adalah salah satu misi jiwaku, aku juga pernah mengalami sebuah momen Epiphany.

Saat itu aku berkunjung ke Museum Jenang dan Gusjigang, salah satu museum kebanggaan di kota kelahiranku, Kudus. Museum Gusjigang Adalah salah satu tempat yang bertujuan untuk melestarikan sejarah, budaya, dan kearifan lokal kota Kudus. Selain itu, museum ini juga menjadi pusat wisata edukasi dan inspirasi bagi anak bangsa.

Ada sebuah ruangan di dalam museum yang menjadi ruang koleksi Al-Quran dalam berbagai bahan. Ada manuskrip dari kulit sapi, daun lontar, dan kertas kuno. Ada juga Al-Quran berbahan kanvas raksasa serta Al-Quran mini yang membutuhkan kaca pembesar untuk membacanya.

Saat menginjakkan kaki didalamnya, aku seperti masuk ke dalam dunia lain, yang penuh dengan keheningan dan kehangatan. Seolah hanya ada aku dan Al-Quran yang berada disana.

Saat berdiri di tengah ruangan itu, tiba-tiba tubuhku merinding. Mataku basah tanpa alasan yang bisa kuterangkan. Seolah Al-Qur’an sedang menyapaku, bukan dengan bahasa lisan, melainkan bahasa rasa. Seperti arus halus yang mengisi ulang batinku, menguatkan aku tanpa satu pun kata. Hatiku terasa penuh, dan pada detik berikutnya, airmataku membanjir dengan isak yang tak bisa lagi ku tahan.

Sejak momen itu, aku sadar. Mungkin bukan aku yang memilih menjadi guru ngaji. Mungkin Al-Qur’anlah yang memilihku, menempatkanku sebagai salah satu perantaranya. Misi ini tak pernah kurencanakan. Kadang tidak sesuai dengan keinginanku. Kadang tak menjanjikan kecukupan materi. Tapi jika diikuti dengan hati, selalu ada kemudahan di lain sisi.

Misi hidup tidak selalu besar atau gemerlap. Tidak harus membuat kita dikenal banyak orang. Kadang, ia hadir dalam bentuk peran kecil yang hanya sedikit orang sanggup menjalaninya. Dan bagiku, duduk di hadapan anak-anak, membimbing mereka mengeja huruf demi huruf, adalah cara paling indah untuk menjalani takdir yang telah memilihku.

Demikianlah ceritaku menemukan salah satu misi jiwaku yang sederhana, yang biasa-biasa saja, tapi aku bersyukur bisa menjalaninya. Lalu bagaimana dengan ceritamu?

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru Self-love Terbaikku

Jurnal Hati Golden Spiritual