Trauma Adalah Penjaga
Trauma Adalah Penjaga
Trauma bukan selalu luka yang
mengurung, kadang ia adalah penjaga yang setia. Ia datang tidak untuk
menghancurkan, tetapi untuk melindungi.
Aku mengawali tulisan ini dengan sedikit pertanyaan yang akan membawamu pada
sebuah renungan yang dalam.
Pernahkah kamu merasa traumamu justru menjaga dirimu dari bahaya yang
lebih besar?. Bagaimana jika luka yang kamu bawa selama ini sebenarnya adalah
pagar yang sedang melindungimu?. Maukah kamu mulai melihat traumamu bukan
sebagai musuh, melainkan sebagai penjaga?
Jika jawaban dari pertanyaan terakhir adalah ‘Iya’, kamu sudah siap untuk
lanjut membaca.
Dari sekian banyak trauma yang aku miliki, trauma kepada pria tampan menjadi
trauma yang paling absurd. Bentuk trauma ini tentu tak separah Raffi Ahmad yang
meloncat ketakutan ketika melihat rambutan, atau traumanya Iko Uwais yang bisa
tiba-tiba merinding ketika mendengar renyahnya suara kerupuk saat dimakan.
Jadi, ketika aku melihat pria
tampan, reaksi pertamaku adalah speechless dulu. Kemudian, rasan-rasan
seperti sering terjadi… “weh… ganteng banget.. orang apa manekin ini?”, sambil
melihat dengan mata tak berkedip. Detik berikutnya, ada suara lain yang bicara,
“Ah, yang ganteng biasanya mesum, mokondo, pinter ngerayu, yang demen pasti
banyak”. Lalu, perasaan mual menjamah perutku. Dan aku segera mengalihkan
pandangan, melewatkan ketampanan yang tersaji di depan mata. Rasa ketertarikan
segera menyusut dan hilang entah kemana.
Pikiran seperti ini bukan sesuatu yang tidak beralasan. Pasalnya, dulu ketika
masih gadis, Aku pernah dekat dengan laki-laki yang tidak baik. Dari situlah
muncul keyakinan, bahwa banyak laki-laki melihat perempuan hanya sebagai objek
untuk memuaskan rasa ingin tahunya tentang seks. Menurut pandanganku, pemuda dengan
paras tampan yang sadar akan ketampanannya bisa menggaet beberapa wanita untuk menuntaskan fantasi liarnya. Sebagian lainnya
menggunakan ketampanannya untuk mendekati perempuan kaya. Dan dari sana aku
jadi sulit percaya pada ketulusan laki-laki.
Maka, setiap kali ada lelaki yang mendekat, dua bagian diriku selalu bertarung. Satu sisi tubuhku berkata, “Aku
tertarik.” Tapi sisi lain buru-buru mengingatkan, “Waspada!
Jangan-jangan dia sama saja.”
Aku pernah menganggap traumaku sebagai musuh. Ia membuatku insecure,
sulit menjalin hubungan, dan merasa tidak cukup layak dicintai. Setiap kali aku
punya pacar, hubungannya hanya sebentar, tak pernah lebih dari sebulan. Bukan
karena aku tak ingin serius, tetapi ada bagian diriku yang selalu berbisik:"Hati-hati,
jangan-jangan dia hanya ingin memanfaatkanmu."
Dulu, aku
memandang itu sebagai penghalang. Mengapa aku tak bisa seperti orang lain,
mudah jatuh cinta, mudah menjalin hubungan, mudah merasa dicintai?. Aku merasa
terpenjara oleh pikiran burukku sendiri.
Namun waktu
menunjukkan wajah lain dari traumaku.
Ketika aku memasuki pernikahan, aku mulai sadar bahwa justru trauma
itulah yang menjagaku. Ia membuatku lebih waspada, tidak mudah termakan bujuk
rayu, tidak gampang tergoda oleh pandangan mata laki-laki lain. Ia
mengajarkanku untuk hidup cukup, untuk tidak haus perhatian, dan untuk
menemukan kekuatan dalam kemandirian.
Ternyata, traumaku memiliki dua wajah:
- Wajah yang membatasi – dulu aku merasa
trauma itu membuatku insecure, merasa sulit menjalin hubungan,
bahkan menganggapnya sebagai penghalang untuk bahagia.
- Wajah yang menjaga – setelah aku masuk ke
fase rumah tangga, ternyata trauma itu berubah fungsi. Ia menjadi filter
alami yang melindungi diriku dari rayuan kosong, dari ketergodaan pandangan
semu, dan dari kebutuhan berlebihan akan validasi laki-laki.
Ternyata, aku tidak salah melihat
laki-laki waktu remaja dengan curiga. Memang banyak yang masih labil,
coba-coba, bahkan menjadikan perempuan sebagai objek. Dan perasaan “waspada”
itu adalah mekanisme otak dan hati untuk melindungi diri. Bedanya, dulu aku menganggap itu sebagai kelemahan, padahal
sebenarnya itu daya proteksi alami. Trauma yang dulu kuanggap sebagai
penghalang, ternyata adalah penjaga. Ia berdiri di pintu hatiku, memastikan aku
tidak sembarangan memberi tempat pada orang yang salah. Ia mengajarkan bahwa
bukan semua laki-laki bisa dipercaya, dan karena itu, aku harus pandai memilih
mana yang benar-benar pantas aku beri ruang.
Trauma itu kadang datang seperti pagar berduri. Ia memang
menyakitkan, tapi juga menjaga agar kita tidak sembarangan dimasuki orang yang
salah. Trauma bukan berarti kita rusak. Justru, ia bisa membentuk batas sehat,
mengajarkan kita untuk tidak haus perhatian, dan melatih kita mandiri. Kuncinya
adalah berdamai dengan trauma.
Saat kita bisa melihat trauma bukan sebagai musuh, melainkan penjaga,
kita bisa memanfaatkannya untuk tumbuh tanpa kehilangan arah. Dan karenanya, tidak semua
trauma harus disembuhkan. Beberapa diantaranya aku biarkan tetap ada di alam
bawah sadarku karena aku bisa memanfaatkannya sebagai batas dan pengingat
supaya aku tetap eling lan waspodho.
Komentar
Posting Komentar